Jumat, 23 Desember 2011

KONSTRUKTIVISME DAN KONTEKSTUAL

1.    KONSTRUKTIVISME

Teori kontruktivisme menekankan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentranformasikan informasi atau pengetahuannya yang kompleks, mengecek informasi atau pengetahuan baru tersebut dengan informasi atau pengetahuan yang telah diperolehnya dan merevisinya apabila informasi atau pengetahuan itu tidak lagi sesuai. Untuk itu siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.

Teori kontruktivistik dilatarbelakangi oleh teori yang dikemukakan oleh Pieget dan Vigosky, teori pemrosesan informasi dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teory Bruner (Salvin dalam Trianto, 2007: 13). Namun dalam ringkasan ini akan dipaparkan mengenai teori Piaget dan teori Vygosky.

1.1    TEORI PIEGET
Trianto (2007: 14) menyatakan teori perkembangan Pieget mewakili kontruktivisme yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun pengetahuannya dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman interaksi yang dialami oleh mereka.

Menurut teori Pieget, setiap individu mengalai suatu perkembangan dari semenjak dilahirkan sampai menginjak usia dewasa. Tahap perkembangan itu dibagi menjadi empat tahap perkembangan koginitif pieget antara lain sebagai berkut (Nurhadi, 2007: 15).
a)    Sensori motorik (lahir hingga 2 tahun)
Terbentuknya konsep “kepermanenan objek” dan kemajuan gradual dari prilaku yang reflektif ke prilaku yang mengarah kepada tujuan.
b)    Praoprasional konkret (2 hingga 7 tahun)
Anak usia dini berada pada tahap perkembangan ini. Dimana anak usia ini belum mampu berfikir secara abstrak sehingga perlu diperkenalkan dengan fakta atau simbol-simbol konkret sangat dibutuhkan agar dapat dipahami mereka.
c)    Oprasional konkret (7 hingga 11 tahun)
Pada tahap ini anak mengenal konsep dengan mengkonstruk pemahaman diri dalam diri mereka sendiri. Mereka sangat ingin tahu untuk merasakan terjadinya proses akomodasi dan asimilasi, membangun dan memperkuat pengetahuan yang dimiliki mereka.
d)    Oprasional formal (11 hingga dewasa)
Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis.

Piaget (dalam Faizah, 2008: 117) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan anak dibangun dalam pikiran seorang anak dengan secara perlahan. Proses tersebut meliputi:
1.    Asimilasi adalah proses mengumpulkan informasi. Informasi tersebut menjadi rumah pengetahuan, kemudian mereka gunakan dengan cara menyenangkan tanpa dipengaruhi pengalaman sebelumnya. Dapat juga dikatakan proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
2.    Akomodasi adalah proses menyesuaikan pengetahuan yang diperoleh dan mengaitkan dengan berbagai pengalaman sebelumnya.
3.    Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan-pengetahuan yang baru terus menerus dikumpulkan untuk memperkuat rumah pengetahuan yang telah ada sebelumnya melalui asimilasi.
4.    Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
5.    Disequlibrium. Saat anak terus mencoba melakukan penyesuaian (akomodasi) untuk membentuk sebuah gagasan baru, meraih tingkatan pemahaman yang baru, maka terjadilah keseimbangan (equilbrium).

1.2    TEORI PERKEMBANGAN VYGOTSKY
Teori Vygotsky menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit diatas daerah perkembangan seseorang saat ini.
Perkembangan kognitif teori Vygotsky lebih menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Dalam artian bahwa perkembangan kognitif anak disamping ditentukan oleh dirinya sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara aktif.

Secara teori, vygotsky (dalam Anneahira, 2011) membagi perkembangan kognitif berkutat pada tiga hal, antara lain sebagai berikut.
1.    Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan yaitu tata sosial lingkungan dan tataran psikologis yang ada pada dirinya.
2.    Zona perkembangan proksimal (zona of proximal development)
Perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan dalam dua tingkat yaitu tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah secara mandiri, dan tingkat perkembangan potensial yang tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau pemecahan dibawah bimbingan orang dewasa.
3.    Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama memahami proses-proses sosial dan psikologis. Maka dari itu jika dikaji lebih mendalam teori perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi. Media metakognitif dan mediasi kognitif.
Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat “semiotic” yang bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan diri) yang mencakup antara lain  self planing, self monitoring, self checking dan self evaluation. Media ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan maslah yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu. Sehingga, media ini bisa berhubungan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).

2.    PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Beberapa definisi mengenai pendekatan kontekstual yang ditulis dalam beberapa sumber sebagai berikut.
(a)    US. Departement of Education The National School-to-Work Office (dalam Trianto, 2007) mengatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja.
(b)    Marhaeni (2007: 5) menyatakan CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara dan dunia kerja.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan pembelajaran yang mengkaitkan antara dunia yang nyata atau menghadirkan lingkungan dunia yang nyata ke dalam proses pembelajaran peserta didik sehingga mendorong peserta didik untuk mampu mengkorelasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan demikian proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan pengetahuan yang diperoleh dapat digunakan dan diterapkan dalam memecahkan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat.

2.1    Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual
Nurhadi, dkk. (2004: 17-19) menyatakan pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.
(1)    Proses belajar
  • Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik harus mengkontruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
  • Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
  • Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
  • Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
  • Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
  • Peserta didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
  • Proses belajar dapat merubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
(2)    Transfer belajar
  • Peserta didik belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
  • Keterampilan dan pengatahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
  • Penting bagi peserta didik tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana dia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
(3)    Peserta didik sebagai pebelajar
  • Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
  • Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
  • Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
  • Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri dan menyadarkan peserta didik untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
(4)    Pentingnya lingkungan belajar
  • Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik.
  • Pengajar harus berpusat pada bagaimana cara peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dari pada hasilnya.
  • Umpan balik amat penting bagi peserta didik, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
  • Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
Dengan menggunakan konsep ini, kegiatan pembelajaran terasa lebih menyenangkan dan bermakna, sehingga siswa menjadi lebih terfokus karena sumber belajar mereka dekat dengan kehidupan mereka sehingga mereka mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan ini diharapkan peserta didik dapat memposisikan dirinya, bahwa belajar itu penting untuk kehidupan sehari-hari yang merupakan bekal dalam hidupnya nanti dan dapat digunakan, proses belajar berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami melalui  proses mencari informasi, berdiskusi, mengamati, bereksperimen, menuliskan hasil, merumuskan temuan kepada khalayak. Semua proses ini disertai oleh bimbingan dari guru, dimana dalam pendekatan ini peserta didik diajarkan untuk lebih kreatif dan penuh inisiatif dalam belajar, tidak lagi belajar hanya dilakukan pada waktu akan ada ujian tetapi proses belajar terus berlangsung di manapun mereka berada.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pentingnya membawakan dunia nyata ke dalam pembelajaran peserta didik yang membuat pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas menjadi lebih bermakna, dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

2.2    Komponen CTL
Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen, yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) dan refleksi (Reflection), yang akan dijabarkan sebagai berikut (Direktorat PLP dalam Suharta, 2004: 5).

(a)    Kontruktivisme (Contruktivism)
Kontruktivisme (contruktivism) merupakan landasan berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas menjadi konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengetahuan nyata. Sehingga peserta didik dapat membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal dan juga Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan, peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan peserta didik menjadi pusat kegiatan, bukan guru.

(b)    Bertanya (Questioning)
Bertanya dapat terjadi oleh guru kepada siswa, siswa kepada guru atau siswa kepada siswa. Bertanya dilakukan dengan maksud menggali informasi, membantu siswa, mengecek pemahaman siswa, berbagi ide dan sebagainya (Suharta, 2004: 5).
Menurut Nurhadi, dkk (2004:45) bertanya adalah strategi utama pembelajaran yang berpendekatan kontekstual. Bertanya adalah pembelajaran yang dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan kegiatan penting dalam melakukan pembelajaran  yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi dan mengkonfirmasikan.

(c)    Menemukan (Inquiry)
Menemukan adalah bagian kegitan inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (CTL). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. Dalam proses pembelajaran di kelas, tugas seorang guru adalah melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri. Langkah-langkah kegiatan inquiri adalah: (1) merumuskan masalah, (2) mengamati dan melakukan observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya.
(d)     Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep pembelajaran ini adalah hasil pembelajaran dapat diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan lingkungan sekitar baik di sekolah maupun di luar sekolah. Menurut Nurhadi, dkk. (2004: 47) “masyarakat belajar bisa tercipta apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar”. Siswa yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman bertanya.

(e)    Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran, ada suatu model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara menghafal bahasa Inggris dan sebagainya (Nurhadi dkk, 2004). Belajar yang dialami manusia sebagian besar diperoleh dari suatu pemodelan, yaitu meniru prilaku dan pengalaman orang lain. Dalam pemodelan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan dapat didatangkan dari luar.

(f)    Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Menurut Nurhadi, dkk (2004: 52) authentic assessment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Prinsip yang dipakai adalah sebagai berikut.
  1. Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja dan produk.
  2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
  3. Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber.
  4. Tes hanya salah satu alat pengumpulan data penilaian.
  5. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus mencerminkan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari.
  6. Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keleluasaannya (kuantitas).
Dalam proses pembelajaran yang berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa peserta didik mengalami pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan mengidentifikasi bahwa peserta didik mengalami hambatan belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar peserta didik terbebas dari kemacetan belajar.

(g)    Refleksi (Reflection)
Refleksi dimaksudkan untuk mengetahui kejadian yang telah dipelajari, tindakan dilakukan dan tindakan yang perlu dilakukan berikutnya (Suharta, 2004:6). Refleksi adalah cara befikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang mengenai tindakan yang sudah dilakukan di masa lalu dan tindakan yang diperlukan berikutnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang baru diterima (Nurhadi, dkk. 2004: 51).



Daftar Pustaka

Anneahira. 2011. Berkenalan Dengan Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky. http://www.anneahira.com/teori-perkembangan-kognitif-vygotsky.htm (diakses pada 5 Desember 2011)

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Marhaeni, A.A. Istri N. 2007. “Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif”. Makalah disajikan dalam Lokakarya Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Denpasar, pada tanggal 8-9 Desember 2007.

Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Taching and Learning/CTL) dalam Penerapan KBK. Universitas Negeri Malang.

Suharta, I Gusti Putu. 2004. Kumpulan Karya Ilmiah (Makalah). Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja, UPT. Perpustakaan.

Faizah, Dewi Utami. 2008. Keindahan Belajar Dalam Perspektif Pedagogi. Jakarta: Cindy Grafika.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar