Kamis, 22 November 2012

KEGIATAN SEMINAR PENDIDIKAN DASAR UNDIKSHA

Evaluasi Tentang Pelaksanaan 8 Standar Pendidikan pada Tingkat Pendidikan Dasar di Kabupaten Buleleng pada tanggal 23 November 2012

Rabu, 14 Maret 2012

Pengembangan pendididikan di sekolah dasar masih perlu untuk ditingkatkan secara optimal, hal ini menjadi perhatian khusus pada lembaga pengembangan pendidik di sekolah yang menamanatkan insan pendidik yang profesional. Berdasarkan data yang ada tingkat pemerataan guru yang terjadi dewasa ini kurang merata, hal ini berdampak pada tingkat keprofesional guru dalam mengajar tidak sesuai dengan bidang keahlian dari pendidikan guru tersebut khususnya pada pendidikan dasar, seperti misalnya seorang guru yang bukan merupakan ahli dalam bidang matematika seorang guru tersebut mengajar matematika sedangkan guru tersebut keahliannya dalam bidang agama, hal ini menyimpang dalam penggunaan tingkan keprofesional seorang pendidik, hal ini merupakan masalah yang perlu dipertimbangan demi kemajuan pendidikan di Indonesia.

Jika dilihat dari proporsi kelulusan mahasiswa PGSD, ada beberapa tamatan yang bekerja dan menjalankan profesinya bukan sebagai seorang pendidik, melainkan menyimpang dari profesinya seperti misalnya bekerja pada lembaga perbankan, perkreditan ataupun yang lainnya.  Dilapangan mungkin ada sebagian besar yang menjalankan keprofesiaannya sebagai seorang pendidik, baik itu sebagai tenaga PNS, Honorer ataupun sebagai staf pengajar les disuatu instansi lembaga pendidikan yang ada di daerah sekitar.

Minggu, 29 Januari 2012

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DALAM TATANAN MIKRO


PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DALAM TATANAN MIKRO
Oleh.
Putu Beny Pradnyana
NIM 1129041003


A. PENDAHULUAN
Pendidikan dewasa ini sangat diperlukan untuk memajukan bangsa dari keterpurukan. Untuk menciptakan bangsa yang hebat, memerlukan sumber daya manusia yang berkualitas, dan tentunya hal ini tidak terlepas dari peran guru dalam menyukseskan pendidikan. Pendidikan merupakan hal yang tidak dapat disepelekan, karena dengan pendidikan akan mampu menciptakan bangsa yang kuat, bermartabat, mandiri, menjadi bangsa yang produktif dan tidak menjadi budak dari bangsa lain.

Pendidikan pada umunya lebih terkait dengan sekolah. Didalam sekolah tentunya banyak hal yang harus diperhatikan terutama pada keberadaan guru dalam menyukseskan pendidikan. Keberadaan guru dalam menunjang pendidikan sangatlah penting bagi bangsa, karena pendidikan merupakan investasi yang baik bagi bangsa (sumber daya manusia). Untuk mendapatkan keahlian atau skill untuk hidup, seseorang harus mempunyai keahlian yang dimiliki yang dapat digunakan untuk hidup, yang diperoleh melalui proses pendidikan. Keterampilan yang dikuasai dapat dipergunakan untuk mencari pekerjaan dan mendapatkan upah atau gaji berdasarkan pekerjaan yang telah dilakukan. Apabila seluruh bangasa Indonesia ini mempunyai dan mendapatkan pendidikan yang layak, tentunya bangsa Indonesia tidak akan menjadi bangsa yang tertinggal. Pendidikan merupakan elemen penting dalam rangka memerangi kemiskinan, memberdayakan wanita, dan menyelamatkan anak-anak dari berbagai upaya eksploitasi (UNICEF dalam Toyamah Syaikhu, 2004: 5).

Guru dalam memeran diri sebagai seorang pendidik, tentunya harus dibekali dengan kemampuan mendidik, yang diperoleh melalui lembaga pendidikan, yang mencetak guru-guru yang profesional. Tidak hanya peran guru yang mendominasi dari pemerataan penyebaran pendidikan bangsa ini, melainkan juga perlu adanya dukungan dari masyarakat, tanpa adana dukungan dari masyarakat, pemerataan pendidikan tidak akan berhasil. Dalam menjalankan pendidikan, tentunya masih banyak yang harus di benahi untuk mencapau tujuan nasuonal menciptakan bangasa yang cerdas.

B. PENINGKATAN KUALITAS GURU
Mutu pendidikan merupakan faktor utama dalam menentukan perbedaan antara masyarakat terbelakang dan maju. Karena itu, investasi untuk keperluan pendidikan dan sekolah sangat diperlukan dan harus menjadi prioritas. Berbagai upaya, banyak yang telah dilakukan oleh guru, mulai dari mengikuti pelatihan, penelitian dan sebagainya, hal ini dilakukan agar guru memiliki kemampuan profesional yang sesuai dengan profesinya sebagai seorang pendidik yang mampu memberikan pelayanan sesuai dengan yang diperlukan oleh siswa.

Untuk meningkatkan kualifikasi guru dan memiliki kemampuan profesional, pemerintah telah melahirkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen. Salah satu upaya dari undang-undang tersebut adalah meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi guru. Seperti yang kita ketahui jabatan guru adalah jabatan yang paling tidak disukai dalam masyarakat modern saat ini, hal ini disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang dibandingkan profesi-profesi lainnya. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 telah menggariskan upaya untuk meningkatkan kualitas guru dengan kualifikasi sekurang-kurangnnya ijazah S-1.

Prinsip-prinsip profesionalisme guru (berdasarkan UU Guru dan Dosen) dapat ditilik dari 9 poin sebagai berikut.
1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme,
2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia,
3. Memiliki kualifikasi akademik dan latarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya,
5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja,
7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,
8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalannya.

Guru akan melaksanakan tugasnya dengan baik apabila, guru mendapatkan gaji yang sesuai, sehingga guru lebih fokus untuk melaksanakan tugasnya sebagai seorang pendidik. Dengan pendapatan yang cukup atau upah yang cukup, guru dapat bekerja secara optimal dalam mengajar. Untuk mendapatkan tunjangan yang cukup guru harus memperoleh sertifikasi guru, yang diperoleh berdasarkan administrasi yang dikumpulkan dan diajukan kepada pemerintah untuk diseleksi. Sehingga dengan diperolehnya sertifikasi oleh guru, diharapkan guru dapat memaksimalkan pengajaran di sekolah tanpa memikirkan pekerjaan yang lain yang mesti digelutinya untuk memenuhi kebutuhan sehari-harinya. Dengan diperolehnya sertifikasi guru diharapkan kualitas guru menjadi lebih baik dari yang sebelumnya.
Guru dalam pengembangan profesional harus menumbuhkan diri secara profesional. Untuk meningkatkan kualitas guru, seorang guru dalam bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat. Hal-hal dipelajari oleh seorang guru adalah sebagai berikut (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 249).
  1. Memiliki integritas moral kepribadian.
  2. Memiliki integritas intelektual berorientasi kebenaran.
  3. Memiliki integritas religius dalam konteks pergaulan dalam masyarakat majemuk.
  4. Mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
  5. Memahami, menghayati, dan mengamalkan etika profesi guru.
  6. Bergabung dengan asosiasi profesi.
  7. Mengakui dan menghormati martabat siswa sebagai klien guru.
 Berdasarkan hal diatas, seorang guru harus benar-benar memahami dalam hal menjalankan profesinya sehingga seorang guru mendapatkan pengakuan yang baik oleh masyarakat terhadap profesi yang dijalankannya. Selain hal di atas, seorang guru dalam upaya pembinaan dan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik, perlu juga dilakukan melalui pengembangan konsep kesejawatan yang harmonis dan objektif. Untuk itu, diperlukan adanya sinergi dengan sebuah wadah organisasi (kelembagaan) para pendidik, dengan bentuk dan mekanisme kegiatan yang jelas, serta standar profesi yang dapat diterapkan secara praktis. Pidarta (dalam Syaifuddin, 2007: 5-7) mengungkapkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik adalah sebagai berikut.
  1. Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
  2. Berdiskusi tentang rencana pembelajaran.
  3. Berdiskusi tentang substansi materi pembelajaran.
  4. Berdiskusi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi pengajaran.
  5. Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawatdi kelas.
  6. Mengembangkan kompetensi dan performansi guru.
  7. Mengkaji jurnal dan buku pendidikan.
  8. Mengikuti studi lanjut dan pengembangan pengetahuan melalui kegiatan ilmiah.
  9. Melakukan penelitian.
  10. Menulis artikel.
  11. Menyusun laporan penelitian.
  12. Menyusun makalah.
  13. Menyusun laporan atau review buku.
Pendidik bertugas menciptakan suasana pendidikan yang bermakna, menyenangkan, kreatif, dinamis, dan dialogis. Untuk itu, pendidik harus memiliki komitmen profesional untuk meningkatkan mutu pendidikan. sebagai pendidik guru harus memberi teladan dan menjaga nama baik lembaga, profesi, dan kedudukan, sesuai dengan kepercayaan yang diberikan kepadanya.

C. ASOSIASI GURU DAN TENAGA KEPENDIDIKAN
Dalam menjalankan program pendidikan, tentunya menemukan berbagai macam kendala yang ditemukan dalam menjalankannya. Kendala-kendala tersebut dapat berupa kebijakan pemerintah yang tidak sesuai dengan kebutuhan guru, pengadaan sarana dan prasarana, pelatihan-pelatihan, dan lain sebagainya. Untuk mengatasi hal tersebut memerlukan asosiasi yang dapat menyalurkan aspirasi, berdiskusi dan mengembangkan keprofesian menjadi lebih baik.

Menurut Sagala (2004: 172) Organisasi atau asosiasi guru dan tenaga kependidikan adalah representasi para guru dan tenaga kependidikan menyalurkan aspirasinya kepada pihak terkait. Asosiasi ini pada hakikatnya merupakan wadah rasa kesejawatan para guru untuk melakukan kegiatan bersama dalam mencapai kepentingan dan tujuan bersama mencangkup kepentingan nasional, kesejahteraan dan profesional guru.
Ada beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam membuat asosiasi guru menjadi kuat menurut Conan (Sonhadji, 2004:172), yaitu pemimpin asosiasi guru harus percaya bahwa lembaga asosiasi itu secara spesifik ada dan diyakini dapat membuat seseorang menjadi guru yang baik serta menentukan persyaratan bagi pelaksanaan pelatihan (training) khusus untuk seluruh guru.

Program asosiasi profesi ini menjadi kontrol terhadap profesi kependidikan dalam hal kualifikasi dan peningkatan kemampuan profesional, dengan membuka ruang yang cukup kondisi kreatif yang membuat guru maupun tenaga kependidikan lainnya berkemampuan tinggi berdasarkan profesi. Berdasarkan hal diatas, organisasi atau asosiasi berfungsi sebagai berikut.
  1. Menyatukan seluruh kekuatan dalam suatu wadah, asosiasi berfungsi sebagai suatu wadah yang digunakan untuk menyalurkan aspirasi, sebagai wadah untuk bertukar pikiran, sehingga asosiasi atau organisasi bisa mengambil tindakan untuk membangun asosiasi atau profesi guru ini.
  2. Mengusahakan adanya satu kesatuan langkah tindakan, sosiasi juga berfungsi sebagai pemersatu dari anggota organisasi untuk dapat menjalankan organisasi sesuai kode etik yang telah di tetapkan.
  3. Melindungi kepentingan anggotanya,
  4. Selalu mengawasi kemampuan-kemampuan anggota-anggotanya dengan mendinamisasi dan memotivasi untuk mengembangkan dan meningkatkan kemampuannya,
  5. Menyiapkan program-program peningkatan kemampuan para anggotanya,
  6. Menyiapkan fasilitas penerbitan dan bacaan lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan profesional,
  7. Mengambil tindakan terhadap anggota yang melakukan pelanggaran baik administratif maupun psikologis.
D. PERAN MASYARAKAT DALAM PENDIDIKAN
Dalam menunjang proses pendidikan ini tidak terlepas dari peran serta masyarakat. Masyarakat sangat penting keberadaanya dalam membantu kelancaran pendidikan, komponen masyarakat dalam pendidikan tidak hanya orang tua siswa, melainkan orang-orang yang tinggal pada lingkungan tempat sekolah itu berada. Dalam Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 mengenai pendidikan nasional, dinyatakan bahwa:
  1. Peran serta masyarakat dalam pendidikan meliputi peran serta perseorangan,kelompok, keluarga, organisasi profesi, pengusaha, dan organisasi kemasyarakatan dalam penyelenggaraan dan pengendalian mutu pelayanan pendidikan.
  2. Masyarakat dapat berperan serta sebagai sumber, pelaksana, dan pengguna hasil pendidikan.
  3. Ketentuan mengenai peran serta masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut dengan peraturan pemerintah.
Pendidikan bukan hanya milik guru dan komponen yang ada dalam sekolah tersebut, tetapi juga milik keluarga dari siswa yang sekolah dan juga masyarakat sekitar. Masyarakat diharapkan peranannya dalam melaksanakan dan menyelenggarakan pendidikan terutama dalam mendidik moralitas atau agama, menyekolahkan anaknya, dan membiayai keperluan anak-anaknya.

Dalam peranan masyarakat dalam pendidikan, yang termasuk komponen masyarakat adalah orang tua siswa, tokoh masyarakat, tokoh agama, dunia usaha dan dunia industri. Peran serta mereka dalam pendidikan dapat dilakukan dengan sebagai berikut.
(1) Pengambilan keputusan.
Pengambilan keputusan dilakukan untuk mengembangkan pendidikan sehingga sekolah tersebut menjadi lebih baik dari yang sebelumnya. Seperti misalnya pengambilan keputusan dilakukan melalui rapat komite untuk membahas perkembangan sekolah. Masyarakat yang didalamnya terdiri dari orang tua siswa, anggota komite sekolah, atau wakil dari dunia bisnis dan industri secara bersama-sama memberikan sumbang saran dan berakhir dengan pengambilan keputusan.

(2) Pelaksanaan.
Berdasarkan keputusan yang telah disepakati, maka kewajiban berdasarkan hasil rapat adalah pelaksaan dari hasil keputusan yang telah disepakati.

(3) Penilaian.
Dalam penilaian ini, masyarakat juga berperan dalam pengawasan dan melakukan evaluasi terhadap hasil kesepakatan yang telah di sepakati mengenai ketercapaian dalam pelaksanaan. Dengan demikian masyarakat yang mendukung program sekolah hasil kesepakatan telah berperan serta dalam pelaksanaan. Demikian pula dalam perjalanan program, tentunya memerlukan kontrol dan upaya-upaya untuk memperbaiki.

Pendidikan yang baik tentu memerlukan pembiayaan yang tidak sedikit. Simpati masyarakat terhadap sekolah perlu dibangun agar masyarakat juga memberikan kontribusinya secara efektif dan optimal. melalui keterlibatan masyarakat, maka kegiatan oprasional, kinerja dan produktivitas sekolah diharapkan dapat dibantu.

Masyarakat dalam pengembangan pendidikan juga dapat menyumbangkan gagasan, membantu tenaga, memberikan kritik yang membangun, memberikan motivasi, menyumbangkan keahlian, serta memberikan dukungan terhadap pelaksanaan pendidikan.

Sulanan (2011) menyatakan Ada beberapa alasan mengapa peran serta masyarakat amat diperlukan dalam pengembangan pendidikan di sekolah sebagai berikut.
  1. Pendidikan bukan merupakan tanggung jawab guru semata melainkan juga merupakan tanggung jawab bersama keluarga, masyarakat, dan negara.
  2. Keluarga bertanggung jawab untuk mendidik moralitas/agama, menyekolahkan anaknya, serta membiayai keperluan pendidikan anaknya.
  3. Anak berada di sekolah antara 6-9 jam, selebihnya berada di luar sekolah (rumah dan lingkungannya). Dengan demikian, tugas keluarga amat sangat penting untuk menjaga dan mendidik anaknya, karena sebagian besar waktu anak-anak berada pada diluar lingkungan sekolah.
  4. Pendidikan adalah investasi masa depan anak. Oleh karena itu, untuk menyukseskan program pendidikan pada anak memerlukan biaya, tenaga dan perhatian, hal tersebut tidak dapat dipungkiri pada zaman di era globalisasi ini.
  5. Anak perempuan perlu mendapat pendidikan setinggi anak laki-laki mengingat mereka akan menjadi ibu dari bayi-bayinya. Ibu lebih dekat kepada anak dan mendidik anak perlu pengetahuan yang memadai agar anak tidak salah asuhan/didik.
  6. Masyarakat berhak dan berkewajiban untuk mendapatkan dan mendukung pendidikan yang baik. Kewajiban mereka tidak sebatas pada bantuan dana, lebih dari itu juga pemikiran dan gagasan
  7. Pemerintah berkewajiban membuat gedung sekolah, menyediakan tenaga/guru, melakukan standarisasi kurikulum, menjamin kualitas buku paket, alat peraga, dan lain sebagainya. Karena kemampuan pemerintah terbatas, maka peran serta masyarakat sangat diperlukan.
  8. Kemampuan pemerintah terbatas sehingga mungkin tidak mampu untuk mengetahui secara rinci nuansa perbedaan di masyarakat yang berpengaruh pada bidang pendidikan. Jadi masyarakat berkewajiban membantu penyelenggaraan pendidikan.
  9. Masyarakat dapat terlibat dalam memberikan bantuan dana, pembuatan gedung, lokal, pagar, dan lain sebagainya. Masyarakat juga dapat terlibat dalam bidang teknis edukatif.
  10. Idealnya sekolah bertanggungjawab kepada pemerintah dan juga kepada masyarakat sekitarnya.
  11. Bantuan teknis edukatif juga sangat mungkin diberikan, seperti: menyediakan diri menjadi tenaga pengajar, membantu anak berkesulitan membaca, menentukan dan memelihara guru baru yang mempunyai kualifikasi, serta membicarakan pelaksanaan kurikulum dan kemajuan belajar.

E. PEMERATAAN GURU DALAM OTONOMI DAERAH
Otonomi daerah dapat diartikan sebagai hak, wewenang, dan kewajiban yang diberikan kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan masyarakat setempat menurut aspirasi masyarakat untuk meningkatkan daya guna dan hasil guna penyelenggaraan pemerintahan dalam rangka pelayanan terhadap masyarakat dan pelaksanaan pembangunan sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pelaksanaan otonomi daerah selain berlandaskan pada acuan hukum, juga sebagai implementasi tuntutan globalisasi yang harus diberdayakan dengan cara memberikan daerah kewenangan yang lebih luas, lebih nyata dan bertanggung jawab, terutama dalam mengatur, memanfaatkan dan menggali sumber-sumber potensi yang ada di daerahnya masing-masing khususnya dalam pendidikan mengenai keberadaan guru.

Dalam menunjang proses pendidikan, keberadaan guru di sekolah, khususnya pendidikan dasar sangat penting. Pemerataan keberadaan guru sangat penting adanya dalam suatu daerah atau sekolah. Dengan keberadaan guru yang sesuai dengan kuota yang diperlukan, secara signifikan akan dapat membantu proses pembelajaran berjalan secara optimal dan ilmu pengetahuan akan dapat disebarkan secara optimal.
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari Radio 103.4 fm, Baedhowi Dirjen PMPTK (Peningkatan Mutu Pendidik dan Tenaga Kependidikan), Depdiknas, Menurutnya pemetaan itu dilakukan bekerjasama dengan pemerintah daerah, Karena pemerintah daerah yang lebih mengetahui guru yang dibutuhkan di daerahnya tersebut. Pemetaan ini penting, karena jumlah guru yang ada di suatu daerah berbeda-beda dan kecenderungannya kurang merata. Biasanya jumlah guru yang berada di kota cenderung melimpah, sedangkan di daerah terpencil jumlah guru cenderung kurang.

Berdasarkan informasi diatas, jelas bahwa keberadaan guru di sekolah-sekolah masih dirasa kurang merata, ada yang kelebihan guru ada juga yang kekurangan guru, dan kecenderungan guru-guru optimal berada di daerah perkotaan.

Berdasarkan data yang ada (Suara Merdeka, 2011) Pemerintah menyatakan jumlah guru di Indonesia yang mencapai 2.900.000, saat ini, sangat ideal. Jika dilihat dari data tersebut, keberadaan guru-guru di sekolah mestinya memenuhi kuota yang diperlukan apabila didistribusikan sesuai dengan kebutuhan guru di sekolah-sekolah.

Tujuan Pendidikan Nasional sudah diatur dalam undang-undang, seperti yang terdapat pada UUD 1945 (versi Amendemen), Pasal 31, ayat 3 menyebutkan, "Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang." Pasal 31, ayat 5 menyebutkan, "Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menunjang tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia."

Berdasarkan undang-undang di atas, jika dibandingkan dengan keberadaan guru yang ada di sekolah dasar, khususnya di daerah terpencil kemungkinan hal tersebut tidak dapat tercapai secara optimal. Pendidikan akan dapat ditingkatkan apabila keberadaan guru dimasing-masing sekolah mencukupi kuota yang diperlukan, untuk membantu proses pembelajaran.

Dalam rangka otonomi daerah telah kita ketahui bahwa, pendidikan dasar merupakan wewenang pemerintah daerah. Demikian pula wajib belajar yang sedang disusun di dalam suatu peraturan pemerintah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah. Wajib belajar 6 tahun yang mungkin dapat ditingkatkan menjad wajib belajar 9 tahun dan mungkin menjadi wajib belajar 12 tahun. Dalam evaluasi ditingkat pendidikan dasar, tentunya dalam mengadakan suatu evaluasi terhadap ketercapaian dari standar yang ditetapkan, hal ini juga tidak terlepas dari peran guru yang bertanggung jawab secara penuh, untuk menciptkan wajib belajar sembilan tahun yang berkualitas sesuai dengan program pemerintah.

F. PERLUNYA STANDARISASI PENDIDIKAN
Dalam melaksanakan pendidikan, tentunya harus mempunyai tujuan yang mempunyai ukuran (yardstick), untuk menentukan sampai sejauh mana proses pendidikan itu mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara, hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan harus setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan.

Pendidikan Nasional Indonesia memerlukan standarisasi untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Standar tersebut dicapai dalam kurun waktu tertentu, maka dari itu perlu adanya perumusan yang jelas dan terarah mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan dapat berupa tujuan ideal, tujuan jangka panjang, tujuan jangka menengah dan rencana strategis yang terlihat dengan keadaan dan waktu tertentu. Dengan kejelasan perumusan tujuan pendidikan, guru dapat menentukan langkah-langkah untuk mencapainya.

Apabila tidak adanya patokan atau yardstick yang dijadikan pedoman untuk dicapai, maka guru akan bingung menentukan langkah-langkah yang harus diambil untuk menjalankan proses pendidikan, jika guru sudah bingung tentu proses pendidikan akan menjadi kacau-balau karena tanpa arah yang jelas. Didalam hal ini, UUD 1945 telah merumuskan suatu tujuan yang ideal yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem pendidikan nasional merupakan suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut ialah warganegara Indonesia yang cerdas. Untuk menciptakan bangsa Indonesia yang cerdas diperlukan standar yang digunakan sebagai ukuran untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian di atas, standarisasi pendidikan amatlah diperlukan dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia, dan standar tersebut akan terus-menerus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Menurut Tilaar (2006: 76-77) Standarisasi pendidikan sangat diperlukan karena sebagai berikut.
1) Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan suatu tuntutan politik.
Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang memerlukan ukuran untuk menilai sejauh mana warganegara Indonesia mempunyai visi dan misi yang sama, pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan negara kesatuan tersebut.
2) Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan suatu tuntutan globalisasi.
Dalam kehidupan globalisasi, terjadi persaingan semakin lama semakin meningkat, dan dampak dari globalisasi seperti yang kita ketahui bahwa tidak ada hal yang dapat disembunyikan, sehingga negara lain tahu mengenai keberadaan negara Indonesia, khusunya dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu, stiap warga negara perlu mengangkat dirinya sendiri didalam kehidupan yang penuh permusuhan tetapi terus-menerus memperbaiki diri dengan meningkatkan kemampuan diri agar supaya tidak menjadi budak dari bangsa-bangsa yang lain.
3) Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan tuntutan dari kemajuan (progres).
Setiap negara tentunya tidak ingin bahwa negara menjadi negara yang tertinggal dari negara lain, dan tentunya setiap negara ingin menjadi negara yang maju dan bermartabat. Untuk menjadi anggota negara yang maju tentunya diperlukan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, yang bukan hanya menjadi konsumen dari negara-negara yang maju, tetapi juga dapat berpartisipasi di dalam meningkatkan mutu kehidupan manusia.

Standarisasi merupakan suatu ukuran (yardstick), dimana dalam hal ini sewaktu-waktu standar tersebut harus di evaluasi dan perlu diketahui sampai sejauh mana efektivitas dari standarisasi tersebut terhadap pencapaian pada siswa khususnya pendidikan dasar. Untuk mengetahui efektifitas dari standarisasi tersebut diperlukan sarana-sarana seperti ujian dan evaluasi nasional. Menurut Tilaar (2006: 109) menyatakan ujian dan evaluasi nasional tidak perlu meliputi seluruh standar isi, hal ini akan banyak menimbulkan pengeluaran biaya dan tenaga yang luar biasa. Maka dari itu, dipilihlah beberapa mata pelajaran yang esensial dalam pendidikan dasar, mata pelajaran itu seperti misalnya Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PKn.

Tilaar (2006: 109) juga menyatakan di beberapa negara, evaluasi nasional tidak diwajibkan kepada seluruh wilayah atau negara bagian, melainkan suatu daerah secara sukarela diuji oleh daerah-daerah itu. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh pemetaan terhadap pencapaian standarisasi yang telah ditetapkan, negara tidak mengharuskan bahwa standarisasi merupakan indikator yang digunakan sebagai kelulusan seseorang. Dalam evaluasi mengenai pencapaian standarisasi ini bertumpu pada gurunya sendiri sebagai seseorang yang mendidikan dan mengetahui tingkat pencapaian dari peserta didik, sampai sejauh mana tingkat pencapaian peserta didik terhadap standar isi dan kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional.

Sehingga dengan merapkan standarisasi yang tepat, sesuai dengan pekembangan zaman diharapkan dapat menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif, tentunya standarisasi harus menyesuaikan dengan keadaan bangsa yang sangat berpariasi yang berada pada daerah terpencil, pedesaan dan perkotaan. Dengan penyusunan standarisasi berdasarkan persaingan global di era reformasi ini, dapat menciptakan “sumber daya Indonesia yang prima”. Standarisasi merupakan tuntutan nasional bahkan tantangan global terhadap perkembangan dari bangsa-bangsa lain, untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia prima diperlukan banyak intervensi baik dari pemerintah, guru dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan shingga menuju ke arah lebih baik.

Untuk menuju standar yang telah di tetapkan memerlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang kompeten dan mampu (capable) menjadi bangsa yang cerdas dan bermartabat. Tanpa adanya sarana dan prasarana, tujuan pendidikan nasional tidak akan bisa tercapai secara optimal, dan penciptaan sumber daya manusia yang cerdas tidak akan terlaksana dengan baik.

G. PENUTUP
Untuk memecahkan permasalahan pendidikan di era global, hal yang utama adalah meningkatkan kualitas guru, seperti yang diamanatkan dalam undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen, melalui pemberian sertifikasi dan sebagainya diharapkan mutu pendidikan di Indonesia meningkat. Dalam meningkatkan kualitas pendidikan, perlu adanya dukungan dari masyarakat dalam pendidikan dan adanya pemerataan keberadaan guru di sekolah-sekolah. sehingga dengan adanya pemerataan guru di setiap sekolah, diharapkan pendidikan dapat berjalan dengan baik dan mampu mencapai standarisasi pendidikan yang telah ditentukan.

DAFTAR PUSTAKA
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: Rineka cipta.
Radio 103.4 FM Jakarta. 2012. “Pemerataan Guru di Indonesia Masih Kurang”. Tersedia pada http://www.dradio1034fm.or.id/detail.php?id=3512 (diakses pada tanggal 4 Januari 2012).
Sagala, Syaiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima.
Suara Merdeka. 2011. “2012, Fokus Pemerataan Guru”. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/cetak/2011/12/26/171312/2012-Fokuskan-Pemerataan-Guru (diakses pada tanggal 4 Januari 2012).
Sulanan. 2011. “Peran Serta Masyarakat dalam Pendidikan”. tersedia pada http://sulanam.sunan-ampel.ac.id/?p=27 (diakses pada tanggal 4 Januari 2012).
Syaifuddin, Mohamad, dkk. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Tilaar, H.A.R..2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.
Toyamah, Nina dan Syaikhu Usman. 2004. Alokasi Anggaran Pendidikan di Era Otonomi Daerah: Implikasinya Terhadap Pengelolaan Pelayanan Pendidikan Dasar. Jakarta: lembaga penelitian SMERU.
UU No. 14 tentang guru dan dosen.

Kamis, 05 Januari 2012

PERANAN PROFESIONALISME GURU DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH

A.    PENDAHULUAN
Salah satu permasalahan yang sedang dihadapi oleh bangsa Indonesia adalah rendahnya kualitas pendidikan pada setiap jenjang dan satuan pendidikan, khususnya pendidikan dasar yang ada di Indonesia. Dengan mengetahui rendahnya kualitas pendidikan perlu adanya suatu perbaikan untuk menciptakan pendidikan kearah yang lebih baik dari yang sebelumnya. Berbagai usaha telah banyak dilakukan untuk meningkatkan mutu pendidikan nasional, misalnya pengembangan kurikulum nasional dan lokal, peningkatan kompetensi guru melalui pelatihan-pelatihan, pengadaan buku dan alat pengajaran, pengadaan dan perbaikan alat sarana dan prasarana pendidikan, dan peningkatan mutu manajemen sekolah. rendahnya mutu pendidikan tentunya dipengeruhi oleh beberapa faktor, Depdiknas menyatakan ada tiga faktor yang menyebabkan kualitas mutu pendidikan indonesia tidak mengalami peningkatan secara merata antara lain sebagai berikut.
  1. Kebijakan dan penyelenggaraan pendidikan nasional yang menggunakan pendekatan education production function atau input-output anilysis tidak dilaksanakan secara konsekuen. Pendekatan ini melihat bahwa lembaga pendidikan berfungsi sebagai pusat produksi yang apabila dipenuhi semua input yang diperlukan dalam kegiatan produksi tersebut, maka lembaga ini akan menghasilkan output yang dikehendaki. Pendekatan ini menganggap bahwa apabila input pendidikan seperti guru, buku, media pembelajaran, dan sarana prasarana pendidikan lainnya dipenuhi. Mutu pendidikan (output) secara otomatis akan meningkat. Dalam kenyataan, mutu pendidikan yang diharapkan tidak meningkat secara signifikan, karena selama ini dalam menerapkan pendekatan education production function terlalu memusat pada intput pendidikan dan kurang memperhatikan pada proses pendidikan. padahal, proses pendidikan sangat menentukan output pendidikan.
  2. Penyelenggaraan pendidikan nasional dilakukan secara birokratif-sentralistik sehingga menempatkan sekolah sebagai penyelenggara pendidikan sangat tergantung pada keputusan birokrasi yang mempunyai jalur yang sangat panjang dan kadang-kadang kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai dengan kondisi sekolah setempat. Sekolah lebih merupakan subordinasi dari birokrasi di atasnya sehingga mereka kehilangan kemandirian, keluwesan, motivasi, kreatifitas/inisiatif untuk mengembangkan dan memajukan sekolahnya. Kinerja sekolah menjadi kurang optimal, baik mutu, efisiensi, inovasi, efektifitas, relevansi, maupun produktivitasnya.
  3. Peran serta warga sekolah khususnya guru dan peran serta masyarakat khususnya orang tua siswa dalam penyelenggaraan pendidikan selama ini sangat minim. Partisipasi guru dalam pengambilan keputusan sering diabaikan, padahal terjadi atau tidaknya perubahan di sekolah sangat tergantung pada guru. Dikenalkan pembaharuan apapun jika guru tidak berubah, maka tidak akan terjadi perubahan disekolah tersebut.

Menurut Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003, tenaga pendidik adalah tenaga kependidikan yang berkualifikasi sebagai guru, dosen, konselor, pamong belajar, widyaiswara, tutor, instruktur, fasilitator dan sebutan lain yang sesuai dengan kekhususannya, serta berpartisi pasi dalam penyelenggaraan pendidikan. Pendidik mempunyai dua arti yang luas dan arti yang sempit. Dalam arti luas, seorang pendidik adalah semua orang yang berkewajiban membina peserta didik. Dalam arti sempit, pendidik adalah orang yang dengan sengaja dipersiapkan menjadi guru atau dosen. Guru dan dosen adalah jabatan profesional, kerena meraka mendapatkan tunjangan profesional.
 
Tenaga pendidik khususnya guru sangat berperan penting dalam menunjang pelaksanaan manajemen berbasis sekolah, untuk meningkatkan mutu sekolah, tanpa peran guru sekolah tidak akan mampu berkembang secara optimal.
 
B.    TUJUAN PENERAPAN MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Keberadaan manajemen berbasis sekolah sangat penting dalam peningkatan mutu pendidikan khusunya dalam pendidikan dasar, Menurut Depdiknas (2007: 3) alasan diterapkannya manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut.
  1. Dengan pemberian otonomi yang lebih besar kepada sekolah, maka sekolah akan lebih inisiatif/kreatif dalam meningkatkan mutu sekolah.
  2. Dengan pemberian fleksibelitas/keluwesan-keluwesan yang lebih besar kepada sekolah untuk mengelola sumberdayanya, maka sekolah akan lebih luwes dan lincah dalam mengadalan dan memanfaatkan sumberdaya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah.
  3. Sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumberdaya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya.
  4. Sekolah lebih mengetahui kebutuhannya, khususnya input pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik.
  5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolahlah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya.
  6. Penggunaan sumber daya pendidikan lebih efisien dan efektif bilamana dikontrol oleh masyarakat setempat.
  7. Keterlibatan semua warga sekolah dan masyarakat dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan akuntabilitas sekolah.
  8. Sekolah dapat bertanggung jawab tentang mutu pendidikan masing-masing kepada pemerintah, orang tua peserta didik, dan masyarakat pada umunya, sehingga sekolah akan berupaya semaksimal mungkin untuk melaksanakan dan mencapai sasaran mutu pendidikan yang telah dilaksanakan.
  9. Sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah-sekolah lain dalam peningkatan mutu pendidikan melalui upaya-upaya inovatif yang didukung oleh orang tua siswa, masyarakat sekitar, dan pemerintah daerah setempat.
  10. Sekolah dapat secara cepat merespon aspirasi masyarakat dan lingkungan yang berubah dengan cepat.

Berdasarkan hal diatas, dalam pencapaian manajeman berbasis sekolah tentunya memiliki tujuan,  Sagala (2004: 133) menyatakan Tujuan manajemen berbasis sekolah adalah sebagai berikut.
  1. Menjamin mutu pembelajaran anak didik yang berpijak pada asas pelayanan dan prestasi hasil belajar.
  2. Meningkatkan kualitas transfer ilmu pengetahuan dan membangun karakter bangsa yang berbudaya.
  3. Meningkatkan mutu sekolah dengan memantapkan pemberdayaan melalu kemandirian, kreativias, inisiatif dan inovatif dalam mengelola dan memberdayakan seumber daya sekolah.
  4. Meningkatkan kepedulian warga sekolah dan masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan melalui pengambilan keputusan dengan mengakomodir aspirasi bersama.
  5. Meningkatkan tanggung jawab sekolah kepada orang tua, masyarakat dan pemerintah tentang mutu sekolah.
  6. Meningkatkan kompetisi yang sehat antar sekolah tentang mutu pendidikan yang akan dicapai.
Dalam tujuan manajemen berbasis sekolah mengacu kepada standar pendidikan nasional.

C.    PERANAN PENDIDIK DALAM MANAJEMEN BERBASIS SEKOLAH
Pendidik dalam artian guru dalam membantu menyukseskan manajemen berbasis sekolah perlu meningkatkan diri dan mengembangkan potensi profesionalitas untuk meningkatkan mutu pendidikan. Untuk meningkatkan kualifikasi guru dan memiliki kemampuan profesional, pemerintah telah melahirkan Undang-undang No. 14 Tahun 2005 mengenai guru dan dosen. Salah satu upaya dari undang-undang tersebut adalah meningkatkan profesionalisme guru serta meningkatkan kualitas hidup ekonomi guru.  Seperti yang kita ketahui jabatan guru adalah jabatan yang paling tidak disukai dalam masyarakat modern saat ini, hal ini disebabkan karena penghargaan ekonominya relatif sangat kurang  dibandingkan profesi-profesi lainnya. Undang-undang No. 14 Tahun 2005 telah menggariskan upaya untuk meningkatkan kualitas guru dengan kualifikasi sekurang-kurangnnya ijazah S-1.
 
Prinsip-prinsip profesionalisme guru (berdasarkan UU Guru dan Dosen) dapat ditilik dari 9 poin sebagai berikut.
  1. Memiliki bakat, minat, panggilan jiwa dan idealisme,
  2. Memiliki komitmen untuk meningkatkan mutu pendidikan, keimanan, ketakwaan dan ahlak mulia,
  3. Memiliki kualifikasi akademik dan latarbelakang pendidikan yang sesuai dengan bidang tugasnya,
  4. Memiliki kompetensi yang diperlukan sesuai dengan bidang tugasnya,
  5. Memiliki tanggung jawab atas pelaksanaan tugas keprofesionalan,
  6. Memperoleh penghasilan yang ditentukan sesuai dengan prestasi kerja,
  7. Memiliki kesempatan untuk mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan belajar sepanjang hayat,
  8. Memiliki jaminan perlindungan hukum dalam melaksanakan tugas keprofesionalan,
  9. Memiliki organisasi profesi yang mempunyai kewenangan mengatur hal-hal yang berkaitan dengan tugas keprofesionalannya.
Guru dalam pengembangan profesional, guru harus menumbuhkan diri secara profesional. Untuk meningkatkan kualitas guru, seorang guru dalam bekerja dan bertugas mempelajari profesi guru sepanjang hayat. Hal-hal dipelajari oleh seorang guru adalah sebagai berikut (Dimyati dan Mudjiono, 2009: 249).
  • Memiliki integritas moral kepribadian.
  • Memiliki integritas intelektual berorientasi kebenaran.
  • Memiliki integritas religius dalam konteks pergaulan dalam masyarakat majemuk.
  • Mempertinggi mutu keahlian bidang studi sesuai dengan kemampuan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.
  • Memahami, menghayati, dan mengamalkan etika profesi guru.
  • Bergabung dengan asosiasi profesi.
  • Mengakui dan menghormati martabat siswa sebagai klien guru.
Berdasarkan hal di atas, seorang guru harus benar-benar memahami dalam hal menjalankan profesinya sehingga seorang guru mendapatkan pengakuan yang baik oleh masyarakat terhadap profesi yang dijalankannya dan dapat mengoptimalkan pendidikan dalam manajemen berbasis sekolah. Selain hal di atas, seorang guru dalam upaya pembinaan dan peningkatan profesionalisme tenaga pendidik, perlu juga dilakukan melalui pengembangan konsep kesejawatan yang harmonis dan objektif. Untuk itu, diperlukan adanya sinergi dengan sebuah wadah organisasi (kelembagaan) para pendidik, dengan bentuk dan mekanisme kegiatan yang jelas, serta standar profesi yang dapat diterapkan secara praktis. Pidarta (dalam Syaifuddin, 2007: 5-7) mengungkapkan beberapa upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan profesionalisme tenaga pendidik adalah sebagai berikut.
(1)    Meningkatkan kualitas dan kemampuan dalam pelaksanaan proses pembelajaran.
(2)    Berdiskusi tentang rencana pembelajaran.
(3)    Berdiskusi tentang substansi materi pembelajaran.
(4)    Berdiskusi tentang pelaksanaan proses belajar mengajar termasuk evaluasi pengajaran.
(5)    Melaksanakan observasi aktivitas rekan sejawatdi kelas.
(6)    Mengembangkan kompetensi dan performansi guru.
(7)    Mengkaji jurnal dan buku pendidikan.
(8)    Mengikuti studi lanjut dan pengembangan pengetahuan melalui kegiatan ilmiah.
(9)    Melakukan penelitian.
(10)    Menulis artikel.
(11)    Meneyusun laporan penelitian.
(12)    Menyusun makalah.
(13)    Menyusun laporan atau review buku.

Guru dalam manajemen berbasis sekolah berfungsi untuk meningkatkan mutu kegiatan belajar mengajar disekolah melalui kegiatan pemecahan masalah, melakukan uji coba dan mengembangkan ide-ide baru proses pembelajaran, serta kegiatan lain yang menunjang kemajuan pendidikan disekolah.
 
Dalam sistem gugus, KKG menjadi penting dalam manajemeb berbasis sekolah karena dapat dipandang sebagai pembinaan profesional guru. Peningkatan mutu pendidikan tidak dapat dilakukan hanya dengan memperbaharui kurikulum belaka, melainkan juga dengan konsep-konsep pendidikan yang menjadi mind set guru, menjadikan professional behavior dengan motivasi intrinsiknya, yang dapat dilakukan di kelas, disekolah, dan dalam hubungannya antar guru sebagaimana terjadi dalam KKG.

D.    STANDARISASI DIGUNAKAN UNTUK PENINGKATAN MUTU PENDIDIKAN DALAM MBS
 
Dalam melaksanakan pendidikan, tentunya harus mempunyai tujuan yang mempunyai ukuran (yardstick), untuk menentukan sampai sejauh mana proses pendidikan itu mencapai tujuan yang telah ditentukan. Tujuan pendidikan selalu bersifat sementara, hal ini dapat dikatakan bahwa tujuan pendidikan harus setiap saat perlu direvisi dan disesuaikan dengan tuntutan perubahan.
 
Pendidikan Nasional Indonesia memerlukan standarisasi untuk mewujudkan tujuan pendidikan. Standar tersebut dicapai dalam kurun waktu tertentu, maka dari itu perlu adanya perumusan yang jelas dan terarah mengenai tujuan pendidikan. Rumusan tujuan pendidikan dapat berupa tujuan ideal, tujuan jangka panjang, tujuan jangka menengah dan rencana strategis yang terlihat dengan keadaan dan waktu tertentu. Dengan kejelasan perumusan tujuan pendidikan, guru dapat menentukan langkah-langkah untuk mencapainya.
Apabila tidak adanya patokan atau yardstick yang dijadikan pedoman untuk dicapai, maka guru akan bingung menentukan langkah-langkah yang harus diambil untuk menjalankan proses pendidikan, jika guru sudah bingung tentu proses pendidikan akan menjadi kacau-balau karena tanpa arah yang jelas. Didalam hal ini, UUD 1945 telah merumuskan suatu tujuan yang ideal yaitu mencerdaskan kehidupan bangsa. Sistem pendidikan nasional merupakan suatu upaya untuk mewujudkan cita-cita ideal tersebut ialah warganegara Indonesia yang cerdas. Untuk menciptakan bangsa Indonesia yang cerdas diperlukan standar yang digunakan sebagai ukuran untuk mencapai tujuan.

Berdasarkan uraian di atas, standarisasi pendidikan amatlah diperlukan dalam meningkatkan pendidikan di Indonesia, dan standar tersebut akan terus-menerus meningkat seiring dengan perkembangan zaman. Menurut Tilaar (2006: 76-77) Standarisasi pendidikan sangat diperlukan karena sebagai berikut.
  1. Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan suatu tuntutan politik. Negara Indonesia merupakan negara kesatuan yang memerlukan ukuran untuk menilai sejauh mana warganegara Indonesia mempunyai visi dan misi yang sama, pengetahuan dan keterampilan yang dapat mengembangkan negara kesatuan tersebut.
  2. Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan suatu tuntutan globalisasi. Dalam kehidupan globalisasi, terjadi persaingan semakin lama semakin meningkat, dan dampak dari globalisasi seperti yang kita ketahui bahwa tidak ada hal yang dapat disembunyikan, sehingga negara lain tahu mengenai keberadaan negara Indonesia, khusunya dalam bidang pendidikan. Oleh sebab itu, stiap warga negara perlu mengangkat dirinya sendiri didalam kehidupan yang penuh permusuhan tetapi terus-menerus memperbaiki diri dengan meningkatkan kemampuan diri agar supaya tidak menjadi budak dari bangsa-bangsa yang lain.
  3. Standarisasi Pendidikan Nasional merupakan  tuntutan dari kemajuan (progres). Setiap negara tentunya tidak ingin bahwa negara menjadi negara yang tertinggal dari negara lain, dan tentunya setiap negara ingin menjadi negara yang maju dan bermartabat. Untuk menjadi anggota negara yang maju tentunya diperlukan kualitas sumber daya manusia yang tinggi, yang bukan hanya menjadi konsumen dari negara-negara yang maju, tetapi juga dapat berpartisipasi di dalam meningkatkan mutu kehidupan manusia.
   
Standarisasi merupakan suatu ukuran (yardstick), dimana dalam hal ini sewaktu-waktu standar tersebut harus di evaluasi dan perlu diketuhi sampai sejauh mana efektivitas dari standarisasi tersebut terhadap pencapaian pada siswa khususnya pendidikan dasar. Untuk mengetahui efektifitas dari standarisasi tersebut diperlukan sarana-sarana seperti ujian dan evaluasi nasional. Menurut Tilaar (2006: 109) menyatakan ujian dan evaluasi nasional tidak perlu meliputi seluruh standar isi, hal ini akan banyak menimbulkan pengeluaran biaya dan tenaga yang luar biasa. Maka dari itu, dipilihlah beberapa mata pelajaran yang esensial dalam pendidikan dasar, mata pelajaran itu seperti misalnya Bahasa Indonesia, Matematika, IPA, IPS dan PKn.
 
Tilaar (2006: 109) juga menyatakan di beberapa negara, evaluasi nasional tidak diwajibkan kepada seluruh wilayah atau negara bagian, melainkan suatu daerah secara sukarela diuji oleh daerah-daerah itu. Hal tersebut dapat dikatakan bahwa untuk memperoleh pemetaan terhadap pencapaian standarisasi yang telah ditetapkan, negara tidak mengharuskan bahwa standarisasi merupakan indikator yang digunakan sebagai kelulusan seseorang. Dalam evaluasi mengenai pencapaian standarisasi ini bertumpu pada gurunya sendiri sebagai seseorang yang mendidikan dan mengetahui tingkat pencapaian dari peserta didik, sampai sejauh mana tingkat pencapaian peserta didik terhadap standar isi dan kurikulum yang telah ditetapkan secara nasional.
Sehingga dengan merapkan standarisasi yang tepat, sesuai dengan pekembangan zaman diharapkan dapat menciptakan sumber daya manusia Indonesia yang cerdas dan kompetitif, tentunya standarisasi harus menyesuaikan dengan keadaan bangsa yang sangat berpariasi yang berada pada daerah terpencil, pedesaan dan perkotaan. Dengan penyusunan standarisasi berdasarkan persaingan global di era reformasi ini, dapat menciptakan “sumber daya Indonesia yang prima”. Standarisasi merupakan tuntutan nasional bahkan tantangan global terhadap perkembangan dari bangsa-bangsa lain, untuk menciptakan sumber daya manusia Indonesia prima diperlukan banyak intervensi baik dari pemerintah, guru dan masyarakat untuk meningkatkan mutu pendidikan shingga menuju ke arah lebih baik.
Untuk menuju standar yang telah di tetapkan memerlukan sarana dan prasarana yang memadai untuk mencapai tujuan tersebut, sehingga bangsa ini menjadi bangsa yang kompeten dan mampu (capable) menjadi bangsa yang cerdas dan bermartabat. Tanpa adanya sarana dan prasarana, tujuan pendidikan nasional tidak akan bisa tercapai secara optimal, dan penciptaan sumber daya manusia yang cerdas tidak akan terlaksana dengan baik.
 
Dalam rangka otonomi daerah telah kita ketahui bahwa, pendidikan dasar merupakan wewenang pemerintah daerah. Demikian pula wajib belajar yang sedang disusun di dalam suatu peraturan pemerintah menjadi tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah. Wajib belajar 6 tahun yang mungkin dapat ditingkatkan menjad wajib belajar 9 tahun dan mungkin menjadi wajib belajar 12 tahun. Dalam evaluasi ditingkat pendidikan dasar, tentunya dalam mengadakan suatu evaluasi terhadap ketercapaian dari standar yang ditetapkan, hal ini juga tidak terlepas dari peran guru yang bertanggung jawab secara penuh, untuk menciptkan wajib belajar sembilan tahun yang berkualitas sesuai dengan program pemerintah.

DAFTAR PUSTAKA
Depdiknas. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar Dan Menengah Direktorat Pembinaan Sekolah Menegah Pertama.
Sagala, Syaiful. 2004. Manajemen Berbasis Sekolah dan Masyarakat Strategi Memenangkan Persaingan Mutu. Jakarta: Nimas Multima.
Syaifuddin, Mohamad, dkk. 2007. Manajemen Berbasis Sekolah. Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan Nasional.
Tilaar, H.A.R..2006. Standarisasi Pendidikan Nasional Suatu Tinjauan Kritis. Jakarta: Rineka Cipta.

Rabu, 04 Januari 2012

RESOLUSI TAHUN 2012

Saya merupakan putra pertama dari 4 bersodara, yang mungkin memiliki impian yang ingin diwujudkan di tahun 2012 ini, adapun impian yang ingin diwujudkan adalah sebagai berikut.
  • Semakin dekat dengan Tuhan “Tirta Yatra”.
  • Menyelesaikan kuliah semester 1 dan 2 tanpa ada hambatan yang berarti dengan semangat dan perjuangan sehingga mampu menamatkan diri tepat pada waktunya.
  • Membayar SPP semesteran.
  • Misalnya jika ada bukaan beasiswa, semoga dapet beasiswa.
  • Mendapatkan pekerjaan sesuai impian.
  • Bisa ganti kendaraan lagi ... hahahahaha ..... bila perlu beli lagi .....
  • Bisa lebih harmonis dengan semuanya, prahyangan, pawongan n pelemahan.
  • Usaha dirumah lancar.
  • Bisa bayar hutang.
  • Bisa lebih memperhatikan pacar.
  • Bisa merayakan otonan, tepat pada purnama (sudah 3 kali jadinya tepat purnama) dan ulang tahun ke-23. Ini merupakan hal yang luar biasa, jarang ada hari lahir tepat pada purnama, n tepat pada pawukon, semoga merupakan keberuntungan.
Dari kesemuanya itu, mungkin ada yang tidak tercapai, tapi apa salahnya mempunyai resolusi di tahun 2012 ini .... sedikit tidak kita memotivasi diri kita sendiri untuk lebih baik dari tahun sebelumnya.

Jumat, 23 Desember 2011

KONSTRUKTIVISME DAN KONTEKSTUAL

1.    KONSTRUKTIVISME

Teori kontruktivisme menekankan bahwa siswa harus menemukan sendiri dan mentranformasikan informasi atau pengetahuannya yang kompleks, mengecek informasi atau pengetahuan baru tersebut dengan informasi atau pengetahuan yang telah diperolehnya dan merevisinya apabila informasi atau pengetahuan itu tidak lagi sesuai. Untuk itu siswa agar benar-benar memahami dan dapat menerapkan pengetahuan, mereka harus bekerja memecahkan masalah, menemukan segala sesuatu untuk dirinya, berusaha dengan susah payah dengan ide-ide.

Teori kontruktivistik dilatarbelakangi oleh teori yang dikemukakan oleh Pieget dan Vigosky, teori pemrosesan informasi dan teori psikologi kognitif yang lain, seperti teory Bruner (Salvin dalam Trianto, 2007: 13). Namun dalam ringkasan ini akan dipaparkan mengenai teori Piaget dan teori Vygosky.

1.1    TEORI PIEGET
Trianto (2007: 14) menyatakan teori perkembangan Pieget mewakili kontruktivisme yang memandang perkembangan kognitif sebagai suatu proses di mana anak secara aktif membangun pengetahuannya dan pemahaman realitas melalui pengalaman-pengalaman interaksi yang dialami oleh mereka.

Menurut teori Pieget, setiap individu mengalai suatu perkembangan dari semenjak dilahirkan sampai menginjak usia dewasa. Tahap perkembangan itu dibagi menjadi empat tahap perkembangan koginitif pieget antara lain sebagai berkut (Nurhadi, 2007: 15).
a)    Sensori motorik (lahir hingga 2 tahun)
Terbentuknya konsep “kepermanenan objek” dan kemajuan gradual dari prilaku yang reflektif ke prilaku yang mengarah kepada tujuan.
b)    Praoprasional konkret (2 hingga 7 tahun)
Anak usia dini berada pada tahap perkembangan ini. Dimana anak usia ini belum mampu berfikir secara abstrak sehingga perlu diperkenalkan dengan fakta atau simbol-simbol konkret sangat dibutuhkan agar dapat dipahami mereka.
c)    Oprasional konkret (7 hingga 11 tahun)
Pada tahap ini anak mengenal konsep dengan mengkonstruk pemahaman diri dalam diri mereka sendiri. Mereka sangat ingin tahu untuk merasakan terjadinya proses akomodasi dan asimilasi, membangun dan memperkuat pengetahuan yang dimiliki mereka.
d)    Oprasional formal (11 hingga dewasa)
Pemikiran abstrak dan murni simbolis mungkin dilakukan. Masalah-masalah dapat dipecahkan melalui penggunaan eksperimentasi sistematis.

Piaget (dalam Faizah, 2008: 117) menyatakan bahwa ilmu pengetahuan anak dibangun dalam pikiran seorang anak dengan secara perlahan. Proses tersebut meliputi:
1.    Asimilasi adalah proses mengumpulkan informasi. Informasi tersebut menjadi rumah pengetahuan, kemudian mereka gunakan dengan cara menyenangkan tanpa dipengaruhi pengalaman sebelumnya. Dapat juga dikatakan proses kognitif perubahan skema yang tetap mempertahankan konsep awalnya, hanya menambah atau merinci.
2.    Akomodasi adalah proses menyesuaikan pengetahuan yang diperoleh dan mengaitkan dengan berbagai pengalaman sebelumnya.
3.    Skema/skemata adalah struktur kognitif yang dengannya seseorang beradaptasi dan terus mengalami perkembangan mental dalam interaksinya dengan lingkungan. Pengetahuan-pengetahuan yang baru terus menerus dikumpulkan untuk memperkuat rumah pengetahuan yang telah ada sebelumnya melalui asimilasi.
4.    Equilibrasi adalah keseimbangan antara asimilasi dan akomodasi sehingga seseorang dapat menyatukan pengalaman luar dengan struktur dalamya (skemata). Proses perkembangan intelek seseorang berjalan dari disequilibrium menuju equilibrium melalui asimilasi dan akomodasi.
5.    Disequlibrium. Saat anak terus mencoba melakukan penyesuaian (akomodasi) untuk membentuk sebuah gagasan baru, meraih tingkatan pemahaman yang baru, maka terjadilah keseimbangan (equilbrium).

1.2    TEORI PERKEMBANGAN VYGOTSKY
Teori Vygotsky menekankan pada aspek sosial dari pembelajaran. Menurut Vygotsky bahwa proses pembelajaran akan terjadi jika anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum dipelajari, namun tugas-tugas tersebut masih berada dalam jangkauan mereka disebut dengan zone of proximal development, yakni daerah tingkat perkembangan sedikit diatas daerah perkembangan seseorang saat ini.
Perkembangan kognitif teori Vygotsky lebih menekankan pada pembelajaran sosiokultural. Dalam artian bahwa perkembangan kognitif anak disamping ditentukan oleh dirinya sendiri secara aktif, juga ditentukan oleh lingkungan sosial secara aktif.

Secara teori, vygotsky (dalam Anneahira, 2011) membagi perkembangan kognitif berkutat pada tiga hal, antara lain sebagai berikut.
1.    Hukum genetik tentang perkembangan (genetic law of development)
Setiap kemampuan seseorang akan tumbuh dan berkembang melewati dua aturan yaitu tata sosial lingkungan dan tataran psikologis yang ada pada dirinya.
2.    Zona perkembangan proksimal (zona of proximal development)
Perkembangan kemampuan seseorang dapat dibedakan dalam dua tingkat yaitu tingkat perkembangan aktual yang tampak dari kemampuannya menyelesaikan tugas-tugas atau memecahkan masalah secara mandiri, dan tingkat perkembangan potensial yang tampak dari kemampuan seseorang dalam menyelesaikan tugas atau pemecahan dibawah bimbingan orang dewasa.
3.    Mediasi
Mediator yang diperankan lewat tanda maupun lambang adalah kunci utama memahami proses-proses sosial dan psikologis. Maka dari itu jika dikaji lebih mendalam teori perkembangan kognitif Vygotsky akan ditemukan dua jenis mediasi. Media metakognitif dan mediasi kognitif.
Media metakognitif adalah penggunaan alat-alat “semiotic” yang bertujuan untuk melakukan self regulation (pengaturan diri) yang mencakup antara lain  self planing, self monitoring, self checking dan self evaluation. Media ini berkembang dalam komunikasi antar pribadi.
Sedangkan media kognitif adalah penggunaan alat-alat kognitif untuk memecahkan maslah yang berhubungan dengan pengetahuan tertentu. Sehingga, media ini bisa berhubungan konsep spontan (yang bisa salah) dan konsep ilmiah (yang lebih terjamin kebenarannya).

2.    PEMBELAJARAN KONTEKSTUAL
Beberapa definisi mengenai pendekatan kontekstual yang ditulis dalam beberapa sumber sebagai berikut.
(a)    US. Departement of Education The National School-to-Work Office (dalam Trianto, 2007) mengatakan bahwa pengajaran dan pembelajaran kontekstual atau Contextual Teaching and Learning (CTL) merupakan suatu konsepsi yang membantu guru mengkaitkan konten mata pelajaran dengan situasi dunia nyata dan memotivasi siswa membuat hubungan antara pengetahuan dan penerapannya dalam kehidupan mereka sebagai anggota keluarga, warga negara dan tenaga kerja.
(b)    Marhaeni (2007: 5) menyatakan CTL adalah strategi pembelajaran yang menghubungkan antara konten pelajaran dengan situasi kehidupan nyata, dan mendorong peserta didik mengaitkan antara pengetahuan dan pengalaman yang didapatnya di sekolah dengan kehidupannya sebagai anggota keluarga, warganegara dan dunia kerja.

Berdasarkan uraian di atas maka dapat dirumuskan bahwa pembelajaran kontekstual (Contextual Teaching and Learning) merupakan pembelajaran yang mengkaitkan antara dunia yang nyata atau menghadirkan lingkungan dunia yang nyata ke dalam proses pembelajaran peserta didik sehingga mendorong peserta didik untuk mampu mengkorelasikan pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapan dalam kehidupan mereka sehari-hari, dengan demikian proses pembelajaran menjadi lebih bermakna dan pengetahuan yang diperoleh dapat digunakan dan diterapkan dalam memecahkan masalah di dalam kehidupan bermasyarakat.

2.1    Konsep Dasar Pembelajaran Kontekstual
Nurhadi, dkk. (2004: 17-19) menyatakan pendekatan kontekstual mendasarkan diri pada kecenderungan pemikiran tentang belajar sebagai berikut.
(1)    Proses belajar
  • Belajar tidak hanya sekedar menghafal. Peserta didik harus mengkontruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri.
  • Anak belajar dari mengalami. Anak mencatat sendiri pola-pola bermakna dari pengetahuan baru dan bukan diberi begitu saja oleh guru.
  • Para ahli sepakat bahwa pengetahuan yang dimiliki seseorang itu terorganisasi dan mencerminkan pemahaman yang mendalam tentang sesuatu persoalan.
  • Pengetahuan tidak dapat dipisah-pisahkan menjadi fakta-fakta atau proposisi yang terpisah, tetapi mencerminkan keterampilan yang dapat diterapkan.
  • Manusia mempunyai tingkatan yang berbeda dalam menyikapi situasi baru.
  • Peserta didik perlu dibiasakan memecahkan masalah, menemukan sesuatu yang berguna bagi dirinya, dan bergelut dengan ide-ide.
  • Proses belajar dapat merubah struktur otak. Perubahan struktur otak itu berjalan terus seiring dengan perkembangan organisasi pengetahuan dan keterampilan seseorang.
(2)    Transfer belajar
  • Peserta didik belajar dari mengalami sendiri, bukan dari pemberian orang lain.
  • Keterampilan dan pengatahuan itu diperluas dari konteks yang terbatas (sedikit demi sedikit).
  • Penting bagi peserta didik tahu untuk apa dia belajar dan bagaimana dia menggunakan pengetahuan dan keterampilan itu.
(3)    Peserta didik sebagai pebelajar
  • Manusia mempunyai kecenderungan untuk belajar dalam bidang tertentu dan seorang anak mempunyai kecenderungan untuk belajar dengan cepat hal-hal baru.
  • Strategi belajar itu penting. Anak dengan mudah mempelajari sesuatu yang baru. Akan tetapi, untuk hal yang sulit, strategi belajar amat penting.
  • Peran orang dewasa (guru) membantu menghubungkan antara yang baru dan yang sudah diketahui.
  • Tugas guru memfasilitasi agar informasi baru bermakna, memberi kesempatan kepada peserta didik untuk menemukan dan menerapkan ide mereka sendiri dan menyadarkan peserta didik untuk menerapkan strategi mereka sendiri.
(4)    Pentingnya lingkungan belajar
  • Belajar efektif itu dimulai dari lingkungan belajar yang berpusat pada peserta didik.
  • Pengajar harus berpusat pada bagaimana cara peserta didik menggunakan pengetahuan baru mereka. Strategi belajar lebih dipentingkan dari pada hasilnya.
  • Umpan balik amat penting bagi peserta didik, yang berasal dari proses penilaian yang benar.
  • Menumbuhkan komunitas belajar dalam bentuk kerja kelompok itu penting.
Dengan menggunakan konsep ini, kegiatan pembelajaran terasa lebih menyenangkan dan bermakna, sehingga siswa menjadi lebih terfokus karena sumber belajar mereka dekat dengan kehidupan mereka sehingga mereka mampu memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari. Melalui pendekatan ini diharapkan peserta didik dapat memposisikan dirinya, bahwa belajar itu penting untuk kehidupan sehari-hari yang merupakan bekal dalam hidupnya nanti dan dapat digunakan, proses belajar berlangsung alamiah dalam bentuk kegiatan peserta didik bekerja dan mengalami melalui  proses mencari informasi, berdiskusi, mengamati, bereksperimen, menuliskan hasil, merumuskan temuan kepada khalayak. Semua proses ini disertai oleh bimbingan dari guru, dimana dalam pendekatan ini peserta didik diajarkan untuk lebih kreatif dan penuh inisiatif dalam belajar, tidak lagi belajar hanya dilakukan pada waktu akan ada ujian tetapi proses belajar terus berlangsung di manapun mereka berada.

Berdasarkan uraian di atas dapat dikatakan bahwa pentingnya membawakan dunia nyata ke dalam pembelajaran peserta didik yang membuat pembelajaran yang dilakukan di dalam kelas menjadi lebih bermakna, dan dapat digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

2.2    Komponen CTL
Pendekatan kontekstual memiliki tujuh komponen, yaitu: konstruktivisme (Constructivism), bertanya (Questioning), menemukan (Inquiry), masyarakat belajar (Learning Community), pemodelan (Modeling), penilaian sebenarnya (Authentic Assessment) dan refleksi (Reflection), yang akan dijabarkan sebagai berikut (Direktorat PLP dalam Suharta, 2004: 5).

(a)    Kontruktivisme (Contruktivism)
Kontruktivisme (contruktivism) merupakan landasan berfikir pendekatan CTL, yaitu bahwa pengetahuan dibangun oleh manusia sedikit demi sedikit yang hasilnya diperluas menjadi konteks yang terbatas. Pengetahuan bukanlah seperangkat fakta-fakta, konsep atau kaidah yang siap untuk diambil dan diingat. Manusia harus mengkonstruksi pengetahuan itu dan memberi makna melalui pengetahuan nyata. Sehingga peserta didik dapat membangun pemahaman mereka sendiri dari pengalaman baru berdasarkan pada pengetahuan awal dan juga Pembelajaran harus dikemas menjadi proses ”mengkonstruksi” bukan menerima pengetahuan.
Peserta didik perlu dibiasakan untuk memecahkan masalah yang berguna bagi dirinya dan bergelut dengan ide-ide. Guru tidak akan mampu memberikan semua pengetahuan kepada peserta didik. Peserta didik harus mengkonstruksikan pengetahuan di benak mereka sendiri. Dengan dasar ini, pembelajaran harus dikemas menjadi proses mengkonstruksi bukan menerima pengetahuan, peserta didik membangun sendiri pengetahuan mereka melalui keterlibatan aktif dalam proses belajar dan peserta didik menjadi pusat kegiatan, bukan guru.

(b)    Bertanya (Questioning)
Bertanya dapat terjadi oleh guru kepada siswa, siswa kepada guru atau siswa kepada siswa. Bertanya dilakukan dengan maksud menggali informasi, membantu siswa, mengecek pemahaman siswa, berbagi ide dan sebagainya (Suharta, 2004: 5).
Menurut Nurhadi, dkk (2004:45) bertanya adalah strategi utama pembelajaran yang berpendekatan kontekstual. Bertanya adalah pembelajaran yang dipandang sebagai kegiatan guru untuk mendorong, membimbing dan menilai kemampuan berfikir siswa. Bagi siswa kegiatan bertanya merupakan kegiatan penting dalam melakukan pembelajaran  yang berbasis inquiri, yaitu menggali informasi dan mengkonfirmasikan.

(c)    Menemukan (Inquiry)
Menemukan adalah bagian kegitan inti dari kegiatan pembelajaran dengan pendekatan kontekstual (CTL). Pengetahuan dan keterampilan yang diperoleh peserta didik diharapkan bukan dari hasil mengingat seperangkat fakta-fakta, tetapi dari hasil menemukan sendiri. Dalam proses pembelajaran di kelas, tugas seorang guru adalah melaksanakan sejauh mungkin kegiatan inquiri. Langkah-langkah kegiatan inquiri adalah: (1) merumuskan masalah, (2) mengamati dan melakukan observasi, (3) menganalisis dan menyajikan hasil dalam tulisan, gambar, laporan dan karya lainnya, (4) mengkomunikasikan atau menyajikan hasil karya.
(d)     Masyarakat Belajar (Learning Community)

Konsep pembelajaran ini adalah hasil pembelajaran dapat diperoleh dari hasil kerjasama dengan orang lain. Hasil belajar diperoleh dari sharing antar teman, antar kelompok dan lingkungan sekitar baik di sekolah maupun di luar sekolah. Menurut Nurhadi, dkk. (2004: 47) “masyarakat belajar bisa tercipta apabila ada proses komunikasi dua arah. Dalam masyarakat belajar, anggota kelompok yang terlibat dalam komunikasi pembelajaran dapat saling belajar”. Siswa yang terlibat dalam kegiatan masyarakat belajar memberi informasi yang diperlukan oleh teman bicaranya dan juga meminta informasi yang diperlukan dari teman bertanya.

(e)    Pemodelan (Modeling)
Dalam sebuah pembelajaran, ada suatu model yang bisa ditiru. Model itu bisa berupa cara mengoperasikan sesuatu, cara melempar bola dalam olah raga, contoh karya tulis, cara menghafal bahasa Inggris dan sebagainya (Nurhadi dkk, 2004). Belajar yang dialami manusia sebagian besar diperoleh dari suatu pemodelan, yaitu meniru prilaku dan pengalaman orang lain. Dalam pemodelan CTL, guru bukan satu-satunya model. Model dapat dirancang dengan melibatkan siswa dan dapat didatangkan dari luar.

(f)    Penilaian yang Sebenarnya (Authentic Assessment)
Menurut Nurhadi, dkk (2004: 52) authentic assessment adalah prosedur penilaian pada pembelajaran kontekstual. Prinsip yang dipakai adalah sebagai berikut.
  1. Harus mengukur semua aspek pembelajaran: proses, kinerja dan produk.
  2. Dilaksanakan selama dan sesudah proses pembelajaran berlangsung.
  3. Menggunakan berbagai cara dan berbagai sumber.
  4. Tes hanya salah satu alat pengumpulan data penilaian.
  5. Tugas-tugas yang diberikan kepada siswa harus mencerminkan bagian-bagian kehidupan siswa yang nyata setiap hari, mereka harus mencerminkan pengalaman atau kegiatan yang mereka lakukan setiap hari.
  6. Penilaian harus menekankan kedalaman pengetahuan dan keahlian siswa, bukan keleluasaannya (kuantitas).
Dalam proses pembelajaran yang berbasis CTL, gambaran perkembangan belajar peserta didik perlu diketahui oleh guru agar bisa memastikan bahwa peserta didik mengalami pembelajaran dengan benar. Apabila data yang dikumpulkan mengidentifikasi bahwa peserta didik mengalami hambatan belajar, maka guru segera bisa mengambil tindakan yang tepat agar peserta didik terbebas dari kemacetan belajar.

(g)    Refleksi (Reflection)
Refleksi dimaksudkan untuk mengetahui kejadian yang telah dipelajari, tindakan dilakukan dan tindakan yang perlu dilakukan berikutnya (Suharta, 2004:6). Refleksi adalah cara befikir tentang apa yang baru dipelajari atau berfikir ke belakang mengenai tindakan yang sudah dilakukan di masa lalu dan tindakan yang diperlukan berikutnya. Refleksi merupakan respon terhadap kejadian, aktivitas, atau pengalaman yang baru diterima (Nurhadi, dkk. 2004: 51).



Daftar Pustaka

Anneahira. 2011. Berkenalan Dengan Teori Perkembangan Kognitif Vygotsky. http://www.anneahira.com/teori-perkembangan-kognitif-vygotsky.htm (diakses pada 5 Desember 2011)

Trianto. 2007. Model-Model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Kontruktivistik. Jakarta: Prestasi Pustaka.

Marhaeni, A.A. Istri N. 2007. “Pembelajaran Inovatif dan Asesmen Otentik dalam Rangka Menciptakan Pembelajaran yang Efektif dan Produktif”. Makalah disajikan dalam Lokakarya Penyusunan Kurikulum dan Pembelajaran Inovatif di Fakultas Teknologi Pertanian Universitas Udayana Denpasar, pada tanggal 8-9 Desember 2007.

Nurhadi, dkk. 2004. Pembelajaran Kontekstual (Contextual Taching and Learning/CTL) dalam Penerapan KBK. Universitas Negeri Malang.

Suharta, I Gusti Putu. 2004. Kumpulan Karya Ilmiah (Makalah). Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Negeri Singaraja, UPT. Perpustakaan.

Faizah, Dewi Utami. 2008. Keindahan Belajar Dalam Perspektif Pedagogi. Jakarta: Cindy Grafika.